Rabu, 16 November 2016

Tugas Softskill 2

PERSEPSI AKUNTAN PRIA DAN AKUNTAN WANITA TERHADAP ETIKA BISNIS DAN ETIKA PROFESI AKUNTAN

PONIMAN

Politeknik Negeri Semarang



PENDAHULUAN

Perkembangan dunia bisnis mendorong munculnya pelaku bisnis baru yang menimbulkan persaiangan cukup tajam di dalam dunia bisnis. Pelaku bisnis pada umumnya bertujuan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya agar dapat meningkatkan kesejahteraan pelaku bisnis dan memperluas jaringan usahanya. Namun terkadang untuk mencapai tujuan itu sering segala upaya dan tindakan dilakukan walaupun pelaku bisnis harus melakukan tindakan-tindakan yang mengabaikan berbagai dimensi moral dan etika dari bisnis.



Meningkatnya persaingan dan perubahan global, profesi akuntan pada saat ini dan masa mendatang menghadapi tantangan yang semakin berat, sehingga dalam menjalankan aktivitasnya seorang akuntan dituntut untuk selalu meningkatkan profesionalismenya. Ada tiga hal utama yang harus dimiliki oleh setiap anggota profesi dalam mewujudkan profesionalisme yaitu keahlian, berpengetahuan dan berkarakter (Ludigdo & Machfoedz, 1999). Karakter merupakan personality seorang profesional, yang dapat diwujudkan dalam sikap dan tindakan etisnya. Sikap dan perilaku etis akuntan akan sangat mempengaruhi posisinya dimasyarakat pemakai jasanya.

Masalah etika berlaku untuk semua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, etika profesi merupakan suatu isu yang selalu menarik tanpa etika profesi akuntan tidak akan ada karena fungsi akuntansi adalah penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis. Para pelaku bisnis ini diharapkan mempunyai integritas dan kompetensi yang tinggi (Abdullah dan Halim, 2002). Berbagai pelanggaran etika telah banyak terjadi saat ini yang dilakukan oleh akuntan baik di tingkat nasional maupun internasional. Di Indonesia issue ini berkembang seiring dengan terjadinya pelanggaran etika baik yang dilakukan oleh akuntan publik, akuntan intern maupun akuntan pemerintah. Pada tahun 2002 pelanggaran yang melanda perbankan di Indonesia banyak bank-bank yang dinyatakan sehat tanpa syarat oleh akuntan publik atas audit laporan keuangan berdasar standar akuntansi perbankan Indonesia ternyata sebagian besar bank kondisinya tidak sehat (Jaka, 2003). Kasus penyuapan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada akuntan pemerintah (BPKP) di tahun 2005.

Beberapa penelitian telah menguji secara empiris tentang persepsi etika diantara berbagai kelompok akuntan. Ludigdo (1999) menemukan ada perbedaan persepsi tentang etika yang signifikan diantara berbagai kelompok akuntan. Sedangkan penelitian Sriwahyoeni dan Gudono (2000) menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara akuntan pria dan akuntan wanita terhadap etika sebaliknya penelitian Jaka (2003) menemukan adanya perbedaan antara akuntan pria dan akuntan wanita terhadap etika bisnis.

Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik ini mengikat para anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya yang bukan atau belum menjadi anggota IAI. Kode Etik adalah norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan dengan kliennya, antara akuntan dengan sejawat, dan antara profesi dengan masyarakat (Sriwahjoeni, 2000). Terdapat dua sasaran pokok dari kode etik yaitu: pertama kode etik bermaksud melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian baik secara sengaja ataupun tidak sengaja dari kaum profesional. Kedua kode etik juga bertujuan melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilaku-perilaku buruk orang-orang tertentu yang mengaku dirinya profesional (Keraf, 1998).

Kode Etik Akuntan Indonesia yang baru tersebut terdiri dari tiga bagian (prosiding kongres VIII, 1998) yaitu:

1. Kode Etik Umum, terdiri dari 8 prinsip etika profesi yang merupakan landasan perilaku etika professional, memberikan kerangka dasar bagi aturan etika, dan mengatur pelaksanaan pemberian jasa professional oleh anggota yang meliputi: tanggungjawab profesi, kepentingan umum, integritas, obyektifitas, kompetensi dan kehati-hatian profesionalnya, kerahasiaan, perilaku professional dan standar teknis

2. Kode Etik Akuntan Kompartemen, kode Etik Akuntan Kompartemen disahkan oleh rapat anggota kompartemen den mengikat seluruh anggota kompartemen yang bersangkutan

3. Interpretasi kode etik akuntan kompartemen, interpretasi ini merupakan panduan penerapan kode etik akuntan kompartemen

4. Pernyataan etika profesi yang berlaku saat itu dapat dipakai sebagai interpretasi dan atau aturan etika sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya

Hal ini tercermin di dalam rumusan Kode Etik Akuntan Indonesia pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “setiap anggota harus selalu mempertahankan integritas dan oyektifitas dalam melaksanakan tugasnya. Dengan mempertahankan obyetifitas, ia akan bertindak adil tanpa dipengaruhi tekanan/permintaan pihak tertentu/kepentingan pribadinya”.



HIPOTESIS

Khazanchi (1995) mengatakan bahwa antara jenis kelamin dengan etika terdapat hubungan yang signifikan, penemuan ini bertolak belakang dengan Sikula dan Costa (dalam Murtanto, 2003) yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan etika. Murtanto dan Marini (2003) meneliti tentang persepsi etika bisnis dan etika profesi akuntan diantara akuntan pria, akuntan wanita, mahasiswa, dan mahasiswi dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara akuntan pria dan akuntan wanita terhadap etika bisnis dan etika profesi akuntan. Demikian juga untuk mahasiswa dan mahasiswi tidak ada perbedaan yang signifikan untuk etika profesi akuntan , namun untuk etika bisnis ada perbedaan persepsi antara mahasiswa dan mahasiswi Ludigdo, (1999) juga menemukan hal yang sama bahwa jenis kelamin tidak mempunyai pengaruh terhadap etika bisnis.

Machfoed (1999) menyatakan bahwa ada perbedaan persepsi tentang kode etik bisnis diantara kelompok akuntan. Sriwahjoeni (2000), dan Jaka (2003) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan persepsi yang signifikan diantara kelompok akuntan. Dalam penelitiannya juga mengunkapkan bahwa diantara kelompok profesi akuntan tersebut mempunyai persepsi yang sama positifnya terhadap kode etik. Penelitian Destriani (1993) mengenai persepsi akuntan publik terhadap kode etik akuntan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara kelompok akuntan publik terhadap kode etik akuntan.

Berdasarkan dari hasil tinjauan penelitian terdahulu maka hipotesis yang diajukan sdebagai berikut:

H1 :Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi akuntan pria dan akuntan wanita terhadap etika bisnis.

H2 : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi akuntan pria dan akuntan wanita terhadap etika profesi akuntan



METODE PENELITIAN

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah akuntan pendidik, akuntan publik, akuntan pemerintah dan akuntan perusahaan di wilayah Kota Semarang. Teknik pengambilan sampel adalah proposive random sampling sehingga masing-masing kelompok profesi akuntan dijadikan sampel secara proporsional dan acak. Jumlah sampel yang diambil minimal 30 (Masri Singarimbun, 1995). Sekaran (1992) mengatakan jumlah sampel lebih besar dari 30 dan kurang dari 500 pada kebanyakan penelitian sudah terwakili dan jika sampel di bagi kedalam sub sampel maka setiap kategori diperlukan minimum 30 sampel. Sedangkan sampel pada penelitian ini mengambil sampel 30 pada masing-masing kelompok profesi.



Alat analisis Data

Untuk menguji Hipotesa digunakan alat statistik dengan bantuan program computer software SPSS 12.0 for windows sebagai berikut: Untuk menguji H1 dan H2 dilakukan dengan menggunakan alat analisis statistik Mann-Whitney U test karena sampel yang diuji terdiri dari dua kelompok yang saling independen (sampel akuntan pria dan akuntan wanita) dan bertujuan untuk mengetahui terdapat atau tidaknya perbedaan persepsi diantara kelompok sampel. Digunakan juga perhitungan rata-rata (mean) dari persepsi responden untuk masing-masing pertanyaan yang diajukan untuk mengetahui persepsi mana yang lebih baik diantara kelompok sampel yang diuji.



HASIL & PEMBAHASAN

Data Penelitian

Kuesioner disampaikan kepada staf pengajar pada perguruan tinggi baik perguruan tinggi negeri (PTN| maupun perguruan tinggi swasta (PTS) yang ada di wilayah Kota Semarang, Akuntan yang bekerja di kantor akuntan publik (KAP) yang telah memiliki pengalaman mengaudit dua tahun, Akuntan yang bekerja di badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) wilayah Semarang yang telah memiliki pengalaman mengaudit diatas dua tahun dan Akuntan yang bekerja diperusahaan yang telah memiliki pengalaman bekerja diatas dua tahun di wilayah Kota Semarang.

Rincian penyampaian dan pengembalian kuesioner menunjukkan tingkat pengembalian kuesioner keseluruhan (69,23%) dan tingkat pengembalian kuesioner yang dapat digunakan (46,15%).



Uji Kualitas Data

Uji reliabilitas dilakukan dengan menghitung cronbach’s alpha dari masing-masing instrumen dalam suatu variabel. Instrumen yang dipakai dalam variabel tersebut dikatakan andal (reliable) apabila memiliki cronbach’s alpha lebih dari 0,60 (Nunnaly, 1978 dalam andal (reliable) apabila memiliki cronbach’s alpha lebih dari 0,60 (Nunnaly, 1978 dalam Ghozali, 2005). Sedangkan pada pengujian validitas dengan uji homogenitas data dengan melakukan uji korelasional antara skor masing-masing butir dengan skor total (Pearson Correlation) harus menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan pada level 0,01sampai dengan 0,05. Hasil pengujian reliabilitas dan validitas data dirangkum dalam tabel 5.4 berikut:

Slide1

Sumber: Data primer diolah, 2007



Tabel 2 menunjukkan tingkat konsistensi dan akurasi yang cukup baik. Pada uji konsistensi internal koefisien Cronbach’s Alpha menunjukkan tidak ada koefisien yang kurang dari nilai batas minimal 0,60 (Hair et al. 1998). Sedangkan pada pengujian validitas dengan uji homogenitas data dengan uji korelasional antara skor masing-masing item dengan skor total (Pearson Correlations) menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan pada tingkat 0,01.

Sebelum data yang diperoleh diolah untuk dianalisis lebih lanjut, maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Dari tampilan uji K-S, nilai signifikansi masing-masing variabel diatas 0.05, artinya masing-masing variabel terdistribusi secara normal. Hasil uji lebih lanjut untuk persepsi terhadap etika bisnis dan etika profesi disajikan dalam tabel 3.

 Slide2

Berdasar hasil pengujian nomalitas pada tampilan tabel 3. diatas, nilai probabilitas untuk kedua variabel, yaitu variabel etika bisnis dan etika profesi masing-masing sebesar 0,753 dan 0,090. Nilai probabilitas tersebut diatas 0,050, hal ini berarti bahwa data variabel etika bisnis dan etika profesi terdistribusi secara normal.

Slide3

Uji Hipotesis I

Uji beda dilakukan dengan memperhatikan terpenuhinya asumsi kesamaan varians tiap variabel. Hasil Levene’s Test for Equality of Variances menunjukkan nilai F variabel Etika Bisnis sebesar 1,720 (sig.0,200) seperti yang tercantum dalam tabel 4 diatas. Signifikansi nilai F untuk variabel Etika Bisnis lebih besar dari 0,05 sehingga tidak signifikan yang berarti terdapat kesamaan varians tiap variabel.

Hasil uji beda dengan sampel secara independen terlihat pada tabel 5.6. Nilai t untuk tiap variabel pada signifikansi 5 % adalah etika bisnis 1,436 (0,162). Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata variabel etika bisnis tidak berbeda secara signifikan antara persepsi akuntan dengan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan terhadap etika bisnis.

Untuk mengkorfirmasi analisis data, dapat dilakukan dengan melakukan pengujian Mann-Whitney U test. Hasil perhitungan hipotesis I menunjukkan bahwa dilihat secara keseluruhan angka yang terdapat pada kolom asymp.sig adalah 0,158 (diatas 0,05) yang berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi akuntan pria dan persepsi akuntan wanita terhadap etika bisnis seperti yang terdapat pada tabel 4 Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtanto dan Marini (2003) serta Ludigdo (1999) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan antara persepsi akuntan pria dan akuntan wanita terhadap etika bisnis. Hasil penelitian dari Martadi dan Suranta (2006) juga menyimpulkan bahwa untuk masing-masing kelompok responden baik itu akuntan, mahasiswa, karyawan bagian akuntansi tidak terdapat perbedaan persepsi terhadap etika bisnis jika dipandang dari segi gender. Lebih jauh, Jamilah, Fanani dan Chandrarin (2007) menunjukkan pada hasil penelitiannya bahwa gender tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap pengambilan keputusan.



Uji Hipotesis Penelitian II

Hasil Levene’s Test for Equality of Variances menunjukkan nilai F variabel Etika Profesi sebesar 0,522 (sig.0,4760) bisa dilihat di tabel 4. Signifikansi nilai F untuk variabel Etika Profesi lebih besar dari 0,05 sehingga tidak signifikan yang berarti terdapat kesamaan varians tiap variabel.

Untuk mengkorfirmasi analisis data, dapat dilakukan dengan melakukan pengujian Mann-Whitney U test pada tabel 4. Hasil perhitungan hipotesis II menunjukkan bahwa dilihat secara keseluruhan angka yang terdapat pada kolom asymp.sig adalah 0,146 (diatas 0,05) yang berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi akuntan pria dan persepsi akuntan wanita terhadap etika profesi.

Hasil ini mendukung penelitian Martadi dan Suranta (2006) yang menyimpulkan bahwa untuk kelompok responden akuntan dan mahasiswa, tidak terdapat perbedaan persepsi terhadap etika profesi jika dipandang dari segi gender. Selain itu Nugrahaningsih (2005) juga menemukan hasil yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi etika profesi yang signifikan antara auditor pria dan auditor wanita. Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh Murtanto dan Marini (2003) serta Ludigdo (1999). Meskipun wanita lebih etis daripada pria dalam memberikan persepsi terhadap situasi etika profesi (Reiss dan Mitra, 1998 dalam Nugrahaningsih, 2005), namun hal itu tidak mempunyai pengaruh kognitif dalam pemberian opini mengenai perilaku etis.

Temuan riset ini menunjukkan bahwa di antara responden laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan dalam hal persepsi terhadap etika, baik etika bisnis maupun etika profesi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa temuan riset ini lebih mendukung pendekatan structural. Berbeda dengan pendekatan sosialisasi gender yang menyatakan bahwa perempuan cenderung tidak mau melakukan pekerjaan yang membahayakan pihak lain dan lebih cenderung menunjukkan perasaan yang kuat sehubungan masalah-masalah etis dibanding laki-laki, pendekatan struktural lebih menekankan bahwa individu akan bereaksi yang serupa terhadap permasalahan etika, tidak bergantung pada masalah gender (Betz et al, 1989 dalam Muthmainah, 2006).

Pendekatan struktural menyatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh sosialisasi sebelumnya dan persyaratan peran lainnya. Sosialisasi sebelumnya dikuasai/dibentuk oleh penghargaan (reward) dan cost sehubungan peran jabatan. Karena pekerjaan membentuk perilaku melalui struktur reward, laki-laki dan perempuan akan memberi respon yang sama pada lingkungan jabatan yang sama. Jadi pendekatan struktural memprediksikan bahwa laki-laki dan perempuan yang mendapat pelatihan dan jabatan yang sama akan memberikan persepsi etika yang sama pula. Intinya bahwa pendekatan struktural menyatakan tidak ada perbedaan signifikan dalam perilaku etis antara perempuan dan laki-laki.

Kemampuan seseorang untuk memberikan persepsi tentang perilaku tidak etis biasanya dihubungkan dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan (misalnya lingkungan tempat bekerja, kultur, situasi) dan faktor lainnya yang berkaitan dengan individu itu sendiri (misalnya pengaruh keluarga, nilai-nilai religius, pengalaman, karakteristik demografis). Ada sedikit keraguan pada pernyataan bahwa atribut individual berhubungan dengan alasan moral dan kode etik, namun ada keyakinan bahwa faktor-faktor individual menjadi determinan yang powerful pada standar etika personal (Bommer et al., 1987; Trevino, 1986).



 Kesimpulan

Berdasarkan hasil uji Independent-Samples T Test dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara akuntan pria dengan akuntan wanita terhadap etika bisnis. Hal ini dibuktikan dengan nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,05 (sign 0,162). Tetapi terdapat kecenderungan bahwa akuntan wanita mempunyai persepsi terhadap etika bisnis cenderung lebih baik dibanding dengan akuntan pria. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ludigdo (1999) serta Murtanto dan Marini (2003) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi antara akuntan pria dan akuntan wanita terhadap etika bisnis.

Berdasarkan hasil uji Independent-Samples T Test dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara akuntan pria dengan akuntan wanita terhadap etika profesi (sign 0,202). Tetapi terdapat kecenderungan bahwa akuntan wanita mempunyai persepsi terhadap etika profesi cenderung lebih baik dibanding dengan akuntan pria. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Martadi dan Suranta (2006) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi antara akuntan pria dan akuntan wanita terhadap etika profesi.



Sumber jurnal : http://www.unissula.ac.id/images/jurnal/fe/no1/poniman.pdf